Wacana Redenominasi Rupiah: Antara Efisiensi dan Kekhawatiran Publik
FaktaSehari – Wacana Redenominasi Rupiah kembali mencuat setelah pemerintah memasukkan kebijakan ini ke dalam Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2025–2029. Langkah tersebut diatur melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) Redenominasi dengan target penyelesaian pada tahun 2027. Dasar hukumnya tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025, yang ditandatangani oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Pemerintah menilai penyederhanaan nilai mata uang ini penting untuk meningkatkan efisiensi ekonomi, menjaga stabilitas rupiah, serta memperkuat kredibilitas di mata publik. Namun, di balik optimisme itu, muncul perdebatan sengit di kalangan ekonom. Bagi sebagian pihak, redenominasi bukan prioritas di tengah tekanan fiskal dan ketidakpastian global. Bagi yang lain, inilah momentum memperbarui wajah rupiah agar lebih efisien dan kompetitif di era ekonomi digital yang semakin cepat berubah.
Tujuan Mulia di Balik Kebijakan
Pemerintah beralasan, redenominasi bertujuan menyederhanakan sistem keuangan nasional tanpa mengubah daya beli masyarakat. Dengan mengurangi digit pada nominal rupiah misalnya Rp1.000 menjadi Rp1 pencatatan transaksi akan lebih mudah dan efisien. Di sisi lain, kebijakan ini diyakini dapat memperkuat persepsi positif terhadap mata uang Indonesia di pasar global. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menilai penyederhanaan ini bukan sekadar soal angka, melainkan simbol reformasi ekonomi menuju sistem moneter yang modern dan efisien. Pemerintah ingin menciptakan ekosistem keuangan yang lebih adaptif terhadap perubahan teknologi dan digitalisasi transaksi. Meski begitu, Purbaya menegaskan bahwa pelaksanaan kebijakan ini tidak akan dilakukan tergesa-gesa. Semua proses harus memperhitungkan kesiapan infrastruktur, lembaga keuangan, dan kesadaran publik agar transisi berjalan tanpa gejolak sosial maupun ekonomi.
Pandangan Ekonom: Perlu, Tapi Belum Mendesak
Di balik visi besar tersebut, banyak ekonom menilai redenominasi belum mendesak untuk dilakukan sekarang. Guru Besar Ekonomi Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menyebut kebijakan ini justru berpotensi menambah beban anggaran negara dan masyarakat. Ia menilai biaya besar akan timbul dari proses pencetakan ulang uang, pembaruan sistem akuntansi, hingga kampanye edukasi publik. “Tidak ada nilai baru yang tercipta. Angka berkurang, tapi daya beli tetap sama,” ujarnya. Menurutnya, kekuatan ekonomi tidak ditentukan oleh jumlah digit mata uang, melainkan oleh fundamental ekonomi seperti stabilitas inflasi, produktivitas nasional, dan iklim investasi yang sehat. Ia menilai, jika kebijakan ini diterapkan saat kondisi fiskal belum cukup kuat, maka risikonya justru bisa memperlambat pemulihan ekonomi yang sedang berjalan.
Risiko Inflasi dan Efek Psikologis
Kekhawatiran lain datang dari Myrdal Gunarto, ekonom dari Maybank Indonesia. Ia mengingatkan bahwa redenominasi berpotensi menimbulkan kenaikan harga barang secara tidak langsung, terutama akibat pembulatan nominal. Ketika angka diubah, pelaku usaha bisa saja menaikkan harga demi menyesuaikan sistem pencatatan baru. “Ada potensi inflasi yang meningkat karena efek psikologis masyarakat terhadap nilai uang,” katanya. Pemerintah sendiri mengakui risiko tersebut. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut dampak inflasi tetap mungkin terjadi, meski pembahasan masih dalam tahap awal. Dalam konteks ini, edukasi publik menjadi kunci. Tanpa komunikasi yang efektif, masyarakat bisa salah persepsi bahwa redenominasi berarti devaluasi, padahal secara nilai riil tidak ada perubahan. Kepercayaan publik menjadi faktor paling penting agar kebijakan ini tidak menimbulkan kepanikan ekonomi.
Peran Bank Indonesia dan Kesiapan Teknis
Pemerintah menegaskan bahwa pelaksanaan redenominasi merupakan ranah Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter. Menteri Keuangan Purbaya menjelaskan bahwa keputusan penerapannya akan dilakukan sesuai kondisi ekonomi nasional. “Itu kebijakan bank sentral, dan BI akan menentukan waktunya sesuai kebutuhan,” ujarnya. Dengan demikian, meskipun RUU Redenominasi ditargetkan rampung pada 2027, pelaksanaannya belum tentu langsung dilakukan. Kesiapan teknis di tingkat lembaga keuangan, sektor bisnis, dan masyarakat menjadi pertimbangan utama. BI juga perlu memastikan kesiapan sistem pembayaran, perbankan, dan infrastruktur digital agar proses transisi berjalan lancar. Selain itu, dukungan komunikasi publik yang kuat diperlukan untuk menjelaskan bahwa redenominasi bukan bentuk pemotongan nilai uang, melainkan penyederhanaan simbolik yang tidak mengubah daya beli masyarakat.
“Simak Juga : Tidak Semua Hubungan Lama Layak ke Pelaminan, Begini Kata Psikolog”
Pandangan Dunia Investasi
Dari sisi investasi, dampak redenominasi dianggap tidak terlalu signifikan. Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi, Todotua Pasaribu, menilai bahwa kepercayaan investor tidak bergantung pada besar kecilnya nominal rupiah, melainkan pada kepastian kebijakan dan stabilitas regulasi. “Investor lebih melihat arah kebijakan dan kepastian hukum, bukan nominal angka di uang,” ujarnya. Dalam pandangannya, investor global akan tetap menilai Indonesia dari aspek fundamental seperti pertumbuhan ekonomi, kestabilan politik, dan reformasi birokrasi. Karena itu, redenominasi dinilai tidak akan mengubah minat investasi secara drastis. Justru yang lebih penting adalah memastikan kebijakan dilakukan dengan koordinasi lintas sektor agar tidak menimbulkan sinyal negatif di pasar. Transparansi dan komunikasi menjadi kunci agar proses ini bisa diterima dengan baik oleh pelaku ekonomi dalam maupun luar negeri.
Menimbang Antara Simbol dan Substansi
Perdebatan soal redenominasi sesungguhnya memperlihatkan tarik-menarik antara simbol modernisasi dan substansi ekonomi. Di satu sisi, pemerintah ingin menampilkan wajah baru rupiah yang efisien dan mudah digunakan. Namun di sisi lain, publik menuntut jaminan bahwa kebijakan ini tidak membebani masyarakat atau menciptakan ketidakpastian baru. Dalam konteks global, redenominasi bisa menjadi pesan ke dunia bahwa Indonesia siap bertransformasi menuju ekonomi modern. Tetapi tanpa dukungan fundamental yang kuat seperti inflasi terkendali dan pertumbuhan stabil redenominasi hanya akan menjadi perubahan kosmetik. Akhirnya, yang paling dibutuhkan bukan sekadar mengubah angka pada lembar uang, melainkan memperkuat kepercayaan terhadap rupiah melalui kebijakan ekonomi yang berkelanjutan dan berpihak pada stabilitas jangka panjang.


