Gelombang Skandal AI di Kampus Elite Korea Selatan

Gelombang Skandal AI di Kampus Elite Korea Selatan

FaktaSehari – Integritas akademik di Korea Selatan tengah diguncang setelah skandal AI penggunaan kecerdasan buatan (AI) terungkap di tiga universitas elite: Seoul National University, Yonsei University, dan Korea University. Peristiwa ini memicu kekhawatiran nasional karena lembaga-lembaga tersebut selama ini dianggap simbol kualitas dan kehormatan pendidikan tinggi. Insiden terbesar terjadi di Yonsei University ketika sebuah jajak pendapat anonim mengungkapkan 190 dari 353 mahasiswa mengaku curang saat UTS mata kuliah pemrosesan bahasa alami. Fakta ini mengejutkan publik karena menggambarkan dilema generasi yang hidup dengan tekanan akademik tinggi sekaligus kemudahan teknologi. Para dosen, mahasiswa, dan masyarakat akhirnya harus menghadapi satu pertanyaan penting: bagaimana menjaga nilai kejujuran ketika teknologi berkembang jauh lebih cepat daripada aturan yang mengawalnya?

Yonsei University: Ketika Kecurangan Massal Terungkap Lewat Survei Online

Kasus Yonsei menjadi sorotan karena skala kecurangannya terbilang mencengangkan. Ujian tengah semester yang diikuti 600 mahasiswa ini dilakukan secara daring dengan sistem pilihan ganda, sehingga membuka ruang bagi penggunaan AI untuk menjawab soal secara instan. Setelah ujian usai, forum mahasiswa menggelar survei anonim dan hasilnya membuat gempar: ratusan mahasiswa mengaku memakai metode tidak sah. Sang profesor bergerak cepat dengan menawarkan kebijakan khusus, yakni nilai nol bagi mereka yang mengaku, namun ancaman skorsing untuk yang tidak jujur. Reaksi mahasiswa beragam, ada yang marah karena merasa dirugikan, namun ada pula yang menunjukkan empati. Kisah ini menggambarkan betapa rapuhnya batas antara tekanan akademik, rasa ingin tahu, dan godaan teknologi dalam sebuah ruang belajar digital.

“Baca Juga : Kebijakan Baru Google yang Lebih Transparan bagi Pengguna”

Seoul National University: Ujian Tatap Muka Pun Tak Luput dari Godaan AI

Di Seoul National University, kecurangan terjadi meski ujian dilaksanakan secara langsung dan dosen telah memberi larangan tegas mengenai penggunaan AI. Sejumlah mahasiswa tetap mencoba mencari celah, menggunakan alat digital untuk menyelesaikan soal statistik. Ketika pelanggaran terdeteksi, pihak kampus mempertimbangkan pembatalan seluruh hasil ujian dan kemungkinan pelaksanaan ujian ulang. Langkah tersebut memicu perdebatan panas di kalangan mahasiswa. Sebagian menilai keputusan itu adil, sementara lainnya menilai kampus gagal memahami kenyataan bahwa teknologi kini menyatu dengan kebiasaan belajar mahasiswa. Insiden SNU menunjukkan bahwa bahkan ruang kelas fisik yang terkontrol pun tidak sepenuhnya mampu menghalangi penggunaan teknologi. Lebih dari itu, kasus ini memperlihatkan bahwa sistem evaluasi tradisional semakin tidak relevan di tengah hadirnya AI yang makin mudah diakses.

Korea University: MOOC dan Kecurangan yang Menjadi Alarm Nasional

Di Korea University, skandal terjadi dalam skala lebih besar lagi. Sekitar 500 dari 1.400 mahasiswa mata kuliah MOOC tertangkap bertukar jawaban melalui grup chat ketika ujian berlangsung. Bagi sebagian dosen, kejadian ini menjadi tamparan keras karena sistem pembelajaran daring dianggap aman dari pelanggaran besar. Namun kenyataannya, kontrol longgar dan aturan yang tidak jelas menghasilkan ruang abu-abu yang mudah dimanfaatkan. Banyak mahasiswa yang jujur mendesak sanksi tegas, tetapi mereka juga menyoroti lemahnya kesiapan kampus dalam menghadapi model pembelajaran digital. Di forum mahasiswa, keluhan bermunculan mengenai keterlambatan kampus dalam menetapkan kebijakan integritas akademik yang sesuai era AI. Skandal ini menjadi peringatan keras bahwa perkembangan teknologi menuntut pola pengawasan baru.

Pandangan Mahasiswa: AI Sebagai Alat Belajar, Bukan Semata Jalan Pintas

Pendapat mahasiswa dari berbagai universitas mengungkap sisi manusiawi yang jarang diperhatikan. Banyak yang mengakui bahwa AI bukan hanya alat untuk mencontek, tetapi sudah menjadi bagian penting dari proses belajar. Mereka menggunakan AI untuk memahami materi, mengecek tulisan, dan menyelesaikan tugas-tugas berat yang muncul bertubi-tubi setiap semester. Woo Jung-sik, mahasiswa Hanyang University, menyebut AI sebagai alat yang “tak terpisahkan” dari kehidupan akademik saat ini. Namun pengakuan itu juga mencerminkan betapa kaburnya batas antara penggunaan yang wajar dan penyalahgunaan. Mahasiswa merasa kampus belum menyediakan panduan jelas mengenai penggunaan AI secara etis. Alhasil, banyak yang terseret dalam praktik kecurangan tanpa benar-benar memahami konsekuensinya. Suara mereka menunjukkan bahwa masalah ini lebih luas daripada sekadar pelanggaran individu.

“Simak Juga : Dyson V16 Piston Animal Hadir di Indonesia, Usung Teknologi Pembersihan Pintar dan Anti-Kusut”

Para Ahli Serukan Reformasi Pendidikan di Era AI

Para pakar pendidikan menilai skandal ini sebagai tanda bahwa sistem pembelajaran tradisional tak lagi mampu menjawab tantangan zaman. Profesor Park Joo-ho menegaskan bahwa tugas-tugas yang mudah diselesaikan AI kini kehilangan nilai edukatif. Seorang mahasiswa senior, Kim, bahkan menyatakan bahwa “makna tugas telah berubah” seiring kemampuan AI yang terus berkembang. Para ahli berpendapat bahwa universitas perlu membuat pedoman akademik baru yang tidak hanya melarang, tetapi mengatur penggunaan AI secara bertanggung jawab. Profesor Song Ki-chang menekankan bahwa “mustahil melarang total AI,” sehingga langkah paling rasional adalah membangun standar etika yang jelas. Tanpa pedoman tersebut, ketergantungan pada AI bukan hanya mengubah cara belajar, tetapi juga menggerus nilai kejujuran yang menjadi fondasi pendidikan.

Urgensi Aturan Akademik yang Jelas dan Lebih Manusiawi

Skandal ini menunjukkan bahwa yang bermasalah bukan hanya mahasiswa, tetapi juga sistem yang gagal mengikuti perkembangan teknologi. Kampus-kampus di Korea Selatan selama ini belum memiliki panduan yang tegas, sehingga mahasiswa bergerak dalam ruang yang serba tak pasti. Tanpa aturan yang jelas, penggunaan AI menjadi area abu-abu yang mudah disalahgunakan. Universitas harus segera merancang kebijakan yang tidak hanya menekankan hukuman, tetapi juga mendorong kesadaran etis dan literasi digital. Evaluasi perlu dirancang ulang agar memprioritaskan pemikiran kritis, bukan sekadar pengisian jawaban. Pada akhirnya, masa depan pendidikan bukan tentang menolak AI, melainkan membangun ekosistem belajar yang adil dan manusiawi di tengah perubahan teknologi yang tak terelakkan.