Transparansi di Ujung Jari: Mengintip Kinerja Belanja APBD Lewat Portal DJPK
FaktaSehari – Sekarang, siapa pun bisa melihat bagaimana uang rakyat dikelola oleh pemerintah daerah. Tak perlu izin khusus atau akses dari “orang dalam.” Cukup buka Google, ketik portal APBD DJPK, dan dalam hitungan detik, semua data tentang belanja daerah tersaji lengkap dari tingkat nasional hingga kabupaten dan kota. Transparansi fiskal kini betul-betul berada di ujung jari kita. Saya pun mencobanya beberapa waktu lalu karena penasaran dengan kinerja belanja APBD triwulan III tahun ini. Hasilnya cukup mengejutkan: realisasi belanja daerah secara nasional baru mencapai 52,38 persen. Padahal, jika dibandingkan dengan waktu berjalan tiga perempat tahun seharusnya sudah mendekati 70 persen. Artinya, separuh anggaran daerah masih mengendap, belum tersalurkan untuk pembangunan dan pelayanan publik.
Belanja Modal: Uang Pembangunan yang Belum Bergerak
Yang paling memprihatinkan dari data itu adalah belanja modal, komponen anggaran yang paling berdampak langsung terhadap masyarakat. Hingga akhir triwulan III, realisasinya baru 29,13 persen. Angka itu bukan sekadar statistik. Ia mencerminkan lambatnya perputaran ekonomi di daerah, tertundanya proyek infrastruktur, dan berkurangnya lapangan kerja bagi warga lokal. Uang publik yang seharusnya mendorong produktivitas justru diam di kas daerah. Akibatnya, proyek-proyek pembangunan seperti perbaikan jalan, jembatan, dan fasilitas publik berjalan tersendat. Jika kondisi ini terus berlanjut, dampaknya tidak hanya pada ekonomi daerah, tapi juga pada kesejahteraan masyarakat secara luas. Inilah salah satu tantangan terbesar dalam pengelolaan keuangan publik di Indonesia.
“Baca Juga : Zulkifli Hasan: Rupiah Digital Jadi Simbol Kedaulatan Ekonomi Baru Indonesia”
Provinsi Cepat dan Lambat: Ketimpangan dalam Serapan Anggaran
Rasa penasaran saya berlanjut. Saya membuka data per provinsi untuk melihat siapa yang paling cepat dan siapa yang paling lambat menyerap anggaran. Hasilnya beragam sekaligus memprihatinkan. Provinsi dengan kinerja tertinggi hanya mencapai 61,86 persen, satu-satunya yang menembus angka di atas 60 persen. Sementara itu, provinsi dengan kinerja terendah hanya 40,24 persen. Dari total 38 provinsi, sebanyak 23 provinsi mencatat kinerja di bawah rata-rata nasional, dan 16 provinsi bahkan belum mencapai 50 persen. Ini berarti sebagian besar daerah masih tertinggal dalam pelaksanaan programnya. Idealnya, di triwulan ketiga, mesin belanja pemerintah daerah sudah bekerja penuh. Namun faktanya, banyak yang masih “pemanasan,” menunggu waktu menjelang akhir tahun untuk berlari kencang.
Belanja Daerah yang Selalu Dikejar di Akhir Tahun
Fenomena penumpukan belanja di akhir tahun bukan hal baru di Indonesia. Polanya hampir selalu sama: awal tahun sibuk dengan perencanaan, pertengahan tahun berjalan lamban, lalu menjelang Desember, proyek dikebut agar anggaran terserap. Akibatnya, banyak pekerjaan yang dilakukan terburu-buru, dengan kualitas yang jauh dari ideal. Kita sering melihat pembangunan jalan atau jembatan yang baru selesai menjelang akhir tahun, namun cepat rusak karena pelaksanaannya dipaksakan. Dalam konteks ini, penyerapan anggaran bukan sekadar soal administrasi, melainkan juga cerminan tata kelola pemerintahan. Ketika anggaran tidak terserap tepat waktu, pelayanan publik pun terhambat. Dan pada akhirnya, masyarakatlah yang menanggung akibatnya.
Penyebab Utama: Dari Perencanaan Lemah hingga Birokrasi Pengadaan
Mengapa hal ini terus terjadi dari tahun ke tahun? Ada beberapa penyebab utama. Pertama, perencanaan anggaran yang tidak matang. Banyak daerah terlambat menyelesaikan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA), sehingga kegiatan baru bisa dimulai di pertengahan tahun. Kedua, proses pengadaan barang dan jasa yang rumit. Meskipun sistem e-procurement sudah diterapkan, tahap administrasi tetap panjang. Tidak jarang, proses lelang gagal karena peserta tidak memenuhi syarat, dan harus diulang dari awal. Semua ini membuat waktu pelaksanaan kegiatan semakin sempit. Ketiga, minimnya kapasitas teknis aparatur daerah dalam mengelola proyek. Tanpa peningkatan kemampuan perencanaan dan pengawasan, efisiensi anggaran sulit tercapai.
“Simak Juga : Gelombang PHK di Pabrik Sepatu Tangerang: 2.200 Pekerja Kehilangan Pekerjaan”
Dampak Ekonomi: Uang Publik yang Tidak Segera Bekerja
Lambatnya serapan anggaran berdampak langsung pada perekonomian daerah. Ketika pemerintah daerah menahan belanja, aktivitas ekonomi lokal ikut melambat. Para kontraktor, pedagang bahan bangunan, hingga pekerja lapangan kehilangan momentum untuk berproduksi. Padahal, setiap rupiah yang dibelanjakan pemerintah bisa menciptakan efek berganda mendorong konsumsi, memperluas lapangan kerja, dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Uang publik seharusnya menjadi bahan bakar roda ekonomi, bukan mengendap di kas daerah. Karena itu, mempercepat realisasi anggaran bukan sekadar kewajiban administratif, melainkan strategi untuk memperkuat pertumbuhan ekonomi daerah yang inklusif.
Harapan untuk Tata Kelola Anggaran yang Lebih Efektif
Meski tantangannya besar, masih ada harapan untuk perubahan. Transparansi melalui portal APBD DJPK sudah menjadi langkah maju yang patut diapresiasi. Kini, masyarakat dapat ikut mengawasi bagaimana pemerintah daerah menggunakan anggaran. Namun, transparansi saja tidak cukup. Diperlukan pembenahan sistem perencanaan, percepatan proses pengadaan, dan peningkatan kapasitas SDM di tingkat daerah. Pemerintah pusat juga perlu memberikan insentif bagi daerah yang mampu menuntaskan realisasi belanja tepat waktu. Dengan kombinasi transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi, uang publik bisa kembali menjalankan fungsinya: membangun, menyejahterakan, dan mempercepat kemajuan daerah.


