Kesenjangan Sosial di Jakarta: Tantangan Nyata di Balik Gemerlap Ibu Kota
FaktaSehari – Jakarta, sebagai ibu kota negara, selama ini dikenal sebagai pusat pemerintahan, ekonomi, dan gaya hidup modern. Gedung-gedung pencakar langit menghiasi langit kota, pusat perbelanjaan mewah menjamur, dan lalu lintas tak pernah sepi dari kendaraan mahal. Tapi di balik itu semua, ada realitas yang lebih kompleks dan sering kali terabaikan: kesenjangan sosial yang mencolok.
Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI), Jusuf Kalla (JK), dalam pelantikan Dewan Kehormatan dan Pengurus PMI DKI Jakarta periode 2025–2030, mengingatkan bahwa Jakarta bukan hanya dihuni oleh orang-orang terkaya di Indonesia, tapi juga menjadi tempat tinggal bagi banyak warga dengan tingkat ekonomi paling rendah.
“Di Jakarta ini orang terkaya ada, dan mungkin juga orang miskin terbanyak,” ujar JK. Pernyataan ini bukan sekadar retorika, melainkan cermin dari kenyataan bahwa ketimpangan ekonomi di Jakarta begitu tajam dan nyata.
Variasi Sosial yang Tajam dan Rentan
JK menyebut bahwa variasi sosial di Jakarta sangat ekstrem. Dari apartemen mewah di pusat kota hingga kawasan padat penduduk di pinggir rel, semuanya hidup berdampingan namun dengan jurang kesejahteraan yang lebar.
“Kesenjangan seperti ini kalau tidak diatasi dengan baik bisa menimbulkan masalah sosial yang serius. Orang miskin hanya ingin bertahan hidup, bukan mengejar kemewahan,” jelasnya.
Menurutnya, ini bukan hanya soal statistik, tapi soal potensi konflik sosial yang bisa muncul jika ketidaksetaraan terus dibiarkan. Karenanya, ia menegaskan bahwa peran PMI sangat penting, terutama dalam memberikan bantuan nyata bagi masyarakat yang terdampak, baik karena bencana maupun keterbatasan ekonomi.
“Baca Juga : Demokrasi Indonesia dan Krisis Fiskal yang Kian Terbuka”
PMI Bukan Sekadar Donor Darah
Lebih lanjut, JK menekankan bahwa PMI tak boleh membatasi perannya hanya pada donor darah atau bantuan bencana. Lembaga ini harus menjadi pelopor dalam mendukung keselamatan dan kesejahteraan masyarakat miskin perkotaan yang jumlahnya sangat besar.
“PMI harus berjuang, bekerja untuk keselamatan dan kebaikan bersama,” ujarnya dengan nada tegas.
Peran organisasi kemanusiaan seperti PMI menjadi krusial, terlebih di kota besar seperti Jakarta yang tantangannya tidak hanya fisik, tapi juga sosial dan moral.
Pramono Anung: Infrastruktur Bukan Lagi Masalah Utama
Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, dalam kesempatan yang sama menegaskan bahwa masalah terbesar Jakarta saat ini bukan lagi soal infrastruktur, melainkan kesenjangan sosial. Menurutnya, pembangunan fisik sudah berjalan baik. Jalan protokol seperti Sudirman, Thamrin, atau Gatot Subroto sudah modern dan lengkap.
Namun, yang menjadi perhatian serius adalah meningkatnya gini ratio atau indeks ketimpangan. “Indikator pembangunan kita bagus, tapi gini rasionya naik sedikit dari 0,34. Artinya disparitas masih tinggi,” ujarnya.
“Simak Juga : Haru Biru Perpisahan Sri Mulyani di Kemenkeu”
Fokus pada Warga Tak Mampu
Untuk mengatasi hal ini, Pramono menegaskan komitmennya melalui program-program bantuan langsung seperti Kartu Jakarta Pintar (KJP), Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul (KJMU), dan kebijakan pemutihan ijazah. Ia bahkan secara eksplisit meminta agar tidak ada pengurangan bantuan terhadap warga yang benar-benar membutuhkan.
“Problem Jakarta itu bukan ada di kawasan elit, tapi di gang-gang sempit, di tempat-tempat warga yang tidak beruntung,” kata Pramono.
Pernyataan ini menegaskan bahwa keadilan sosial dan pemerataan kesejahteraan kini menjadi agenda utama pemerintah provinsi. Bukan sekadar membangun jembatan atau gedung tinggi, tapi juga menjangkau mereka yang terpinggirkan.
Tantangan Jakarta: Bukan Sekadar Infrastruktur, Tapi Kemanusiaan
Jakarta hari ini bukan hanya tentang kemacetan atau banjir, melainkan tentang bagaimana kehidupan dua kutub sosial berjalan berdampingan: yang sangat kaya dan yang hidup dalam keterbatasan. Tantangan sesungguhnya adalah membangun jembatan — bukan dari baja, tapi dari kepedulian, kebijakan, dan aksi nyata.
Dengan PMI yang semakin aktif dan pemerintah yang mulai memprioritaskan penanggulangan disparitas, ada harapan bahwa ibu kota ini bisa menjadi kota yang tidak hanya maju secara fisik, tapi juga adil secara sosial.