Negara Lebih Tanggap pada Rekening Diam daripada Manusia Menganggur
FaktaSehari – Di negeri ini, keheningan sebuah rekening bisa memicu aksi negara, sementara jeritan sunyi para penganggur terus diabaikan. Sebuah rekening yang tak menunjukkan aktivitas selama tiga bulan langsung dicurigai sebagai pintu kejahatan, dibekukan tanpa kompromi. Namun, jutaan warga yang melangkah tanpa tujuan, mencari kerja tanpa hasil, tidak pernah menjadi perhatian yang sama mendesaknya. Negara tak membekukan mereka, tapi juga tak menyentuh mereka. Dalam absurditas ini, ironi muncul di tengah masyarakat dalam bentuk satire: “Rekening nganggur diblokir, tanah nganggur disita, tapi kamu nganggur? Dibiarkan begitu saja.” Sebuah baris sindiran yang menyimpan rasa getir akan ketimpangan perhatian dan kebijakan.
Data Bicara: Rekening Pasif Jadi Alat Kejahatan Baru
Menurut PPATK, sepanjang 2024, lebih dari 28.000 rekening pasif digunakan untuk transaksi ilegal. Dari judi online, narkotika, hingga penipuan digital, semuanya menjadikan rekening ‘diam’ sebagai jalur aman transaksi gelap. Dana mencurigakan yang mengalir mencapai Rp 4,2 triliun—angka yang membuat kita paham kenapa negara bergerak cepat. Rekening-rekening ini ibarat rumah kosong yang disusupi pencuri: sunyi tapi berisiko. Maka, pemblokiran pun dilakukan atas nama pencegahan. Dari sudut pandang keamanan, langkah ini tampak logis. Namun, narasi ini menjadi rumit saat publik mulai bertanya: apakah semua rekening tak aktif pantas dicurigai?
“Baca Juga : Pemprov DKI Hapus Sanksi Pajak Kendaraan Sambut HUT Jakarta dan RI“
Antara Pencegahan Kejahatan dan Pelanggaran Privasi
Keresahan publik bukan pada tindakan keamanan, tapi pada batas campur tangan negara. Apakah ketidakaktifan finansial sekarang jadi alasan untuk mencurigai? Seorang petani yang menabung hanya saat panen, pensiunan yang jarang menggunakan ATM, buruh migran yang belum pulang, atau mahasiswa yang lupa rekening lamanya—mereka semua bisa masuk kategori ‘mencurigakan’ hanya karena sunyi. Ketika sistem mulai menyamakan diam dengan bahaya, publik pun bertanya: sejauh mana negara berhak masuk ke ruang privat warga atas nama perlindungan?
“Simak Juga : Pertanyaan Awal Tentang Bentuk Ekonomi Indonesia“
Mengapa Negara Tak Bergerak untuk Mereka yang Diam karena Terluka?
Yang menyakitkan bukan hanya pembekuan saldo, tapi pembiaran atas hidup yang beku tanpa pekerjaan. Di tengah fokus besar negara terhadap sistem keuangan dan keamanan digital, ada manusia-manusia yang nyatanya ‘diam’ bukan karena sembunyi, tapi karena kehilangan arah. Mereka tak aktif bukan karena tak mau, tapi karena tak ada ruang untuk bergerak. Jika rekening pasif dianggap berbahaya, mengapa pengangguran tak dianggap darurat? Negara dengan cepat memblokir dana, tapi lambat merespons derita sosial yang lebih riil dan menyentuh.
Satire yang Viral, Lelucon yang Nyata
Lelucon seperti “rekening nganggur dibekukan, kamu nganggur dibiarkan” tak lahir dari sekadar kreativitas netizen. Itu adalah ungkapan frustrasi, representasi nyata dari ketimpangan perhatian. Negara dianggap lebih peduli pada saldo daripada nasib, lebih waspada pada angka digital daripada manusia yang nyata. Di era kebijakan yang semakin digital, rasa kemanusiaan justru kian tergerus. Maka, saat satire viral, itu bukan hanya hiburan—itu peringatan bahwa masyarakat sedang menunggu empati, bukan hanya sistem.
Ketika Sistem Menilai dari Gerak, Bukan Kehidupan
Paradigma yang menilai keberadaan dari aktivitas belaka sangat berisiko. Sistem ini lupa bahwa tidak semua yang diam berbahaya, dan tidak semua yang bergerak membawa manfaat. Rekening pasif tidak selalu berarti transaksi gelap, sebagaimana manusia pasif tak selalu berarti tak berguna. Negara harus bisa membedakan antara sunyi karena sembunyi dan sunyi karena terluka. Jika tidak, sistem akan terus gagal memahami rakyatnya, membekukan yang tak bersalah, dan melupakan mereka yang benar-benar membutuhkan uluran tangan.