Fakta Sehari – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali mengalami tekanan signifikan dalam perdagangan terbaru hari selasa (17/12). Melemahnya mata uang rupiah membuat banyak kalangan mulai bertanya-tanya terkait penyebab di balik situasi ini. Data terbaru menunjukkan kurs rupiah berada pada level yang lebih rendah dibandingkan beberapa hari sebelumnya, memicu kekhawatiran di kalangan pelaku pasar.
Bank Indonesia (BI) melaporkan pelemahan nilai tukar rupiah dipengaruhi oleh kombinasi faktor eksternal dan internal. Selain itu, situasi global yang masih diliputi ketidakpastian turut menambah tekanan pada ekonomi domestik, terutama nilai tukar mata uang.
Di tingkat global, penguatan dolar AS menjadi faktor dominan yang memicu pelemahan rupiah. Penguatan dolar terjadi seiring dengan kebijakan suku bunga yang masih ketat oleh The Federal Reserve (The Fed). Bank sentral AS mempertahankan suku bunga pada level tinggi untuk menekan laju inflasi di negeri Paman Sam.
Ketika suku bunga AS tinggi, investor cenderung menarik dananya dari negara berkembang seperti Indonesia untuk diinvestasikan pada instrumen yang lebih aman di AS. Hal ini meningkatkan permintaan dolar AS secara global dan menyebabkan mata uang negara-negara berkembang melemah, termasuk rupiah.
Analis ekonomi menyebut bahwa dolar AS telah berada dalam tren bullish sejak awal tahun ini. Ketidakpastian geopolitik, seperti konflik di Timur Tengah dan tensi perdagangan antara China dan AS, semakin memperkuat posisi dolar sebagai aset safe haven yang diminati investor.
“Baca Juga: Rosan Roeslani Optimistis Tarik Investasi Besar dari Apple”
Di dalam negeri, ada sejumlah sentimen yang turut memperberat tekanan pada rupiah. Salah satu faktornya adalah neraca perdagangan yang mengalami sedikit pelemahan akibat impor yang meningkat. Meskipun ekspor masih tumbuh, peningkatan kebutuhan impor bahan baku dan konsumsi dalam negeri membuat permintaan dolar AS meningkat di pasar domestik.
Selain itu, kekhawatiran terhadap perlambatan ekonomi domestik pasca pandemi COVID-19 masih menyelimuti pasar. Meskipun pemerintah berupaya menggenjot pertumbuhan ekonomi melalui berbagai program stimulus, investor masih menunggu hasil konkret dari langkah-langkah tersebut.
“Ketidakpastian global dan kebutuhan impor tinggi menjadi dua faktor yang paling berdampak pada nilai tukar rupiah saat ini. Kita perlu menekan impor dan meningkatkan daya tarik investasi untuk meredam pelemahan rupiah,” ujar seorang ekonom dari lembaga riset independen.
Pelemahan rupiah tentunya berdampak langsung terhadap perekonomian masyarakat, terutama pada sektor-sektor yang bergantung pada impor. Harga barang elektronik, bahan bakar minyak (BBM), dan bahan pangan impor cenderung naik ketika nilai tukar rupiah melemah. Hal ini bisa memicu inflasi dan mengurangi daya beli masyarakat.
Di sektor bisnis, perusahaan yang memiliki utang dalam bentuk dolar AS juga akan merasakan dampak signifikan. Beban pembayaran utang menjadi lebih tinggi, sehingga mempengaruhi arus kas perusahaan. Sementara itu, sektor eksportir justru bisa sedikit diuntungkan karena barang mereka lebih kompetitif di pasar global.
“Saat rupiah melemah, perusahaan eksportir memiliki peluang untuk meningkatkan volume penjualan di pasar internasional. Namun, hal ini harus diiringi dengan kebijakan pemerintah yang mendukung pertumbuhan ekspor,” tambah pengamat ekonomi.
“Simak Juga: Mengapa Pasar OTC Kripto Jadi Pilihan Investor Besar?”
Pemerintah dan Bank Indonesia terus melakukan berbagai langkah strategis untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Salah satu upaya yang dilakukan adalah intervensi pasar valuta asing (valas) dan penguatan cadangan devisa. Selain itu, pemerintah berencana mendorong program substitusi impor guna mengurangi ketergantungan terhadap barang dari luar negeri.
Bank Indonesia juga mendorong peningkatan investasi melalui instrumen keuangan domestik agar dana asing tetap mengalir ke Indonesia. Dengan demikian, tekanan terhadap nilai tukar rupiah diharapkan bisa berkurang dalam jangka menengah hingga panjang.
“Kami optimistis, melalui kebijakan moneter yang tepat dan penguatan fundamental ekonomi, rupiah akan kembali stabil dalam waktu dekat,” ungkap Gubernur Bank Indonesia.
Meski demikian, tantangan stabilisasi rupiah masih cukup besar di tengah situasi ekonomi global yang dinamis. Dibutuhkan koordinasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat untuk bersama-sama memperkuat ekonomi domestik. Langkah-langkah seperti meningkatkan ekspor, mengurangi impor, serta menarik investasi asing perlu menjadi prioritas utama.
Dengan kebijakan yang tepat, nilai tukar rupiah diharapkan bisa kembali stabil dan perekonomian Indonesia tetap tumbuh positif.