Fakta Sehari – Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sejak lama menjadi simbol globalisasi ekonomi. Prinsip dasarnya adalah perdagangan bebas antarnegara. Negara yang tergabung diharapkan membuka pasar seluas mungkin. Dengan begitu, efisiensi dan pertumbuhan ekonomi bisa meningkat. Namun, realita di lapangan menunjukkan adanya anomali yang mengejutkan. Negara-negara yang justru menerapkan kebijakan proteksionis malah tumbuh lebih tinggi. Fenomena ini memicu debat sengit di kalangan ekonom dan pengambil kebijakan.
Beberapa negara seperti India, Tiongkok, dan Vietnam diketahui masih menerapkan proteksi. Mereka memberlakukan tarif masuk, subsidi dalam negeri, dan larangan impor. Menariknya, negara-negara ini justru mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang solid. Di tengah ketidakpastian global, ekonomi mereka tetap resilient. Hal ini bertentangan dengan asumsi dasar WTO. Di mana liberalisasi pasar dianggap satu-satunya jalan menuju kemajuan. Namun faktanya, strategi defensif justru memberikan kestabilan dan daya tahan.
“Baca Juga : Apa Itu WFA dan Mengapa Stasiun Whoosh Halim Dukung Konsep Ini?”
Kebijakan proteksi membuat sektor industri lokal lebih kuat. Pemerintah bisa memberi perlindungan pada produsen dalam negeri. Tanpa harus bersaing langsung dengan barang impor murah dari luar negeri. Akibatnya, banyak industri kecil menengah yang bisa berkembang lebih sehat. Di sisi lain, negara liberal cenderung mengalami deindustrialisasi. Banyak sektor manufaktur mereka kolaps akibat gempuran barang impor. Ini menciptakan ketimpangan dalam lapangan kerja dan distribusi pendapatan.
Ekonom dari berbagai belahan dunia mulai menyoroti distribusi manfaat globalisasi. Negara-negara berkembang yang membuka pasarnya terlalu dini mengalami kerugian struktural. Mereka kehilangan industri dasar dan bergantung pada ekspor komoditas. Sementara negara yang cerdik menahan liberalisasi justru menyiapkan industri berteknologi. Saat tiba waktunya terbuka, mereka sudah cukup kuat untuk bersaing. Ini menimbulkan ironi bahwa perdagangan bebas tidak selalu adil bagi semua pihak.
“Simak juga: Muliaman Hadad Digantikan Muhadjir Effendy sebagai Komisaris Utama BSI”
Pandemi COVID-19 menjadi katalis perubahan kebijakan perdagangan. Rantai pasok global terbukti sangat rapuh dan tergantung negara tertentu. Banyak negara yang dulu mengandalkan impor mulai berpikir ulang. Tren reshoring dan relokalisasi industri mulai meningkat di negara-negara Barat. Pemerintah lebih memilih produksi dalam negeri meski biaya sedikit lebih tinggi. Hal ini membangkitkan kembali semangat proteksionisme dengan alasan keamanan nasional.
Dengan semakin banyaknya negara yang melanggar prinsip dasar WTO, otoritas lembaga ini melemah. Proses penyelesaian sengketa pun terhambat akibat vakumnya Badan Banding. Banyak negara lebih memilih menyelesaikan konflik dagang secara bilateral. Misalnya melalui perjanjian FTA atau pembalasan tarif sepihak. Situasi ini mengancam eksistensi WTO sebagai pengatur perdagangan global. Kepercayaan pada sistem multilateral perlahan menurun di mata publik dan pemerintah.
Di tengah ketidakpastian global, nasionalisme ekonomi kian menguat. Pemerintah lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Isu ketahanan pangan, energi, dan industri strategis menjadi prioritas utama. Proteksionisme tidak lagi dianggap tabu, melainkan langkah realistis. Banyak negara merancang kebijakan industri untuk menciptakan substitusi impor. Pendekatan ini banyak disorot oleh ekonom sebagai bentuk adaptasi baru.
Ketegangan dagang antara AS dan Tiongkok jadi contoh nyata dampak proteksionisme. Kedua negara saling menerapkan tarif dan pembatasan ekspor. Persaingan teknologi juga turut memperkeruh situasi. Di Eropa, negara seperti Prancis mulai membatasi akuisisi asing di sektor strategis. Semua ini menunjukkan bahwa ekonomi kini sangat dipolitisasi. Kepentingan geopolitik kerap lebih dominan dibanding prinsip perdagangan bebas.
Sebagai negara berkembang, Indonesia menghadapi dilema dalam merespons anomali ini. Di satu sisi, Indonesia berkomitmen terhadap WTO dan integrasi ekonomi. Di sisi lain, industri dalam negeri masih belum siap menghadapi persaingan global. Pemerintah mulai menyuarakan perlunya kebijakan industrialisasi dan substitusi impor. Contohnya larangan ekspor nikel mentah untuk mendorong hilirisasi. Namun, langkah ini mendapat gugatan dari negara mitra dagang di forum internasional.
Beberapa ekonom mendorong pendekatan hybrid dalam kebijakan perdagangan. Negara sebaiknya tidak sepenuhnya proteksionis ataupun liberal. Perlu keseimbangan antara keterbukaan dan perlindungan sektor strategis. Kebijakan industri harus diarahkan untuk membangun kapasitas nasional. Namun tetap memberi ruang bagi inovasi dan keterlibatan global. Pendekatan ini diyakini lebih cocok dalam situasi dunia yang tidak pasti. Terutama saat isu iklim, perang, dan pandemi masih membayangi perdagangan global.
Dengan meningkatnya proteksionisme dan penurunan kepercayaan pada WTO, masa depan perdagangan global semakin tidak menentu. Banyak negara yang mulai merancang sistem baru berbasis regional. Alih-alih tergantung pada lembaga multilateral, mereka membentuk blok ekonomi terbatas. ASEAN, BRICS, dan RCEP menjadi alternatif arah kerja sama masa depan. Dinamika ini akan terus berkembang seiring ketegangan geopolitik yang belum reda. Ekonom global kini terus memantau ke mana arah arsitektur ekonomi dunia bergerak.