Fakta Sehari – Kasus pemerkosaan yang melibatkan seorang dokter kembali mengguncang dunia medis Indonesia. Kali ini, pelakunya adalah dokter pria berusia 38 tahun. Ia terbukti melakukan pemerkosaan terhadap pasien perempuan yang sedang tidak sadar. Peristiwa tersebut terjadi di salah satu klinik swasta ternama. Korban awalnya datang untuk konsultasi medis rutin. Namun, sang dokter justru memanfaatkan kondisi pasien untuk melakukan tindakan bejat. Setelah melalui proses hukum panjang, pelaku dinyatakan bersalah oleh pengadilan. Selain hukuman pidana, sanksi etika juga diberikan oleh organisasi profesi. Salah satunya adalah pencabutan Surat Tanda Registrasi (STR) seumur hidup. Ini berarti pelaku tidak akan pernah bisa praktik sebagai dokter lagi.
Peristiwa ini bermula saat korban mengeluh sakit perut dan mual hebat. Ia mendatangi klinik tempat dokter pelaku bekerja. Setelah dilakukan pemeriksaan awal, korban diberikan suntikan yang membuatnya tidak sadar. Dalam kondisi tersebut, pelaku melakukan tindakan kekerasan seksual. Korban baru menyadari setelah menemukan tanda-tanda kekerasan fisik pada tubuhnya. Ia juga merasa tidak wajar karena celana dalamnya dalam posisi terbuka. Korban segera melaporkan kejadian itu ke pihak kepolisian. Bukti visum dan rekaman CCTV menjadi kunci utama dalam penyelidikan. Polisi juga menyita beberapa alat medis dari ruang praktik dokter tersebut.
“Baca Juga : PUPR Beberkan Perkembangan Terkini Proyek Tol Puncak”
Kasus ini disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam persidangan, jaksa menuntut hukuman berat karena pelaku adalah tenaga medis. Hakim akhirnya menjatuhkan vonis 14 tahun penjara terhadap pelaku. Selain itu, pelaku juga diwajibkan membayar restitusi kepada korban. Vonis ini disambut lega oleh keluarga korban dan publik luas. Banyak pihak menilai bahwa hukuman ini memberi efek jera. Majelis hakim menilai tindakan pelaku mencoreng nama baik profesi kedokteran. Oleh karena itu, sanksi tambahan berupa pencabutan STR juga dijatuhkan.
IDI langsung mengambil langkah tegas setelah kasus ini mencuat. Dewan Etik IDI menggelar sidang disiplin untuk mengevaluasi tindakan pelaku. Hasilnya, pelaku dianggap melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik profesi. IDI resmi mencabut STR pelaku seumur hidup. Hal ini membuat pelaku tidak bisa lagi praktik sebagai dokter di mana pun. Ketua IDI menyampaikan bahwa organisasi tidak mentolerir kekerasan seksual. Profesi dokter harus dijaga kehormatannya karena menyangkut nyawa manusia. Pencabutan STR dianggap sebagai bentuk perlindungan terhadap masyarakat luas.
“Simak juga: Lenovo ThinkPad X9 Tanpa TrackPoint: Evolusi atau Kecewa?”
STR adalah bukti legal seorang dokter boleh menjalankan praktik kedokteran. Dokter tanpa STR dianggap ilegal dan tidak boleh memberikan layanan medis. Jika STR dicabut seumur hidup, maka pelaku tidak punya jalan kembali. Bahkan jika ia keluar negeri sekalipun, rekam jejak itu akan tetap tercatat. Ini merupakan bentuk sanksi tertinggi dalam dunia kedokteran. Pencabutan STR bukan hanya bentuk hukuman administratif. Ia juga menjadi simbol bahwa pelanggaran etik berat tidak bisa ditoleransi. Organisasi profesi ingin memastikan kepercayaan publik tetap terjaga.
Kasus ini membuka kembali luka bagi banyak korban kekerasan seksual. Terutama mereka yang pernah mengalami kejadian serupa dalam konteks pelayanan kesehatan. Banyak psikolog menyebut korban bisa mengalami trauma jangka panjang. Perasaan tidak aman saat menjalani perawatan medis bisa terus menghantui. Aktivis perempuan menuntut adanya sistem pengawasan ketat di klinik-klinik. Mereka juga mendorong edukasi etika profesi sejak masa kuliah. Selain itu, korban juga harus diberi akses pendampingan psikologis secara gratis. Negara harus hadir untuk memastikan korban benar-benar pulih secara menyeluruh.
Sayangnya, kasus ini bukan yang pertama terjadi di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa tenaga medis juga terseret kasus serupa. Mayoritas korban merasa takut melapor karena pelaku punya posisi sosial tinggi. Banyak klinik juga tidak memiliki sistem pengawasan internal yang kuat. CCTV di ruang tindakan medis masih minim di banyak tempat. Padahal, itu bisa menjadi alat penting untuk mencegah pelanggaran. Pemerintah diminta turun tangan membuat aturan ketat tentang transparansi layanan. Termasuk keharusan pendamping saat tindakan medis dilakukan terhadap pasien perempuan.
Kasus ini mendorong lahirnya tuntutan untuk reformasi dalam dunia kedokteran. Etika profesi harus diajarkan lebih mendalam di institusi pendidikan kedokteran. Calon dokter harus dipastikan memahami konsekuensi pelanggaran berat. Selain itu, pengawasan pasca-lulus juga harus lebih intensif. STR tidak boleh diberikan secara otomatis setiap lima tahun tanpa evaluasi. Harus ada penilaian rekam jejak dan laporan masyarakat. Rumah sakit dan klinik juga harus punya mekanisme pengaduan terbuka. Pasien harus merasa aman, dihormati, dan dilindungi dalam setiap layanan.
Keluarga pasien harus lebih aktif mengawasi proses pengobatan. Terutama saat pasien tidak sadar atau dalam kondisi lemah. Jangan ragu meminta pendamping saat tindakan medis dilakukan. Publik juga perlu diedukasi bahwa pasien berhak menolak tindakan mencurigakan. Jika ada tindakan yang tidak lazim, segera laporkan ke pihak berwenang. Edukasi seperti ini bisa mengurangi potensi terjadinya pelanggaran seksual. Lembaga pendidikan dan media massa punya peran besar menyebarkan informasi.