Fakta Sehari – Universitas Airlangga (Unair) menjadi sorotan setelah Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FISIP dibekukan. Pembekuan ini terjadi karena adanya karangan bunga berisi kritik keras terhadap dua tokoh politik Indonesia, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Kritikan ini menyebut Prabowo dan Gibran dengan sebutan yang kontroversial, menyinggung isu hak asasi manusia dan menyiratkan sindiran terhadap pencapaian akademis. Artikel ini akan membahas penyebab, dampak, dan reaksi dari berbagai pihak terhadap keputusan pembekuan BEM FISIP Unair.
Pada pertengahan Oktober 2024, karangan bunga dengan kata-kata tajam muncul di area kampus Unair. Karangan bunga ini ditujukan kepada Prabowo Subianto Djojohadikusumo dan Gibran Rakabuming Raka sebagai sindiran atas dugaan pelanggaran HAM dan kualitas pendidikan. Kalimat seperti “Selamat atas dilantiknya Jenderal bengis pelanggar HAM dan Profesor IPK 2,3, sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang lahir dari rahim haram konstitusi, Jenderal TNI Prabowo Subianto Djojohadikusumo (Ketua Tim Mawar) – Gibran Rakabuming Raka (Admin Fufufafa)” tercantum jelas di sana. Nama pengirim karangan bunga ini pun menambah kontroversi, yakni “Mulyono (Bajingan Penghancur Demokrasi).”
Karangan bunga tersebut segera menarik perhatian publik, terutama di media sosial, di mana pesan tersebut menjadi viral. Hal ini memicu perhatian pihak kampus yang kemudian bertindak cepat dalam menangani situasi ini.
“Baca juga : Cahaya Merah di Mata Gunung Kepala Naga Gurun Sinai: Ilusi atau Fenomena Alami?“
Pihak Universitas Airlangga segera menanggapi kejadian ini dengan membekukan BEM FISIP Unair. Menurut pernyataan resmi dari pihak rektorat, tindakan ini diambil karena konten karangan bunga dianggap melanggar etika organisasi kampus. Kampus menganggap langkah ini penting untuk menjaga integritas dan reputasi Unair sebagai institusi pendidikan, serta mencegah tindakan yang dinilai provokatif di lingkungan akademik.
Pihak kampus juga menegaskan bahwa langkah pembekuan dilakukan untuk menindaklanjuti perilaku yang dianggap tidak sesuai dengan nilai dan norma universitas. Pihak rektorat menilai bahwa kritik politik sebaiknya disampaikan dengan cara yang lebih konstruktif dan tetap menjaga norma akademik.
Tindakan pembekuan BEM FISIP Unair memunculkan reaksi yang beragam di kalangan mahasiswa. Beberapa mahasiswa berpendapat bahwa tindakan ini mencederai kebebasan berekspresi yang seharusnya dijamin di lingkungan kampus. Mahasiswa yang menentang pembekuan ini beranggapan bahwa BEM memiliki hak untuk menyuarakan kritik, terutama terkait isu politik yang menyangkut kepentingan publik.
Namun, sebagian mahasiswa lainnya menilai kritik yang disampaikan oleh BEM FISIP terlalu berlebihan dan kurang tepat. Mereka menganggap bahwa bentuk kritik dengan bahasa provokatif tersebut tidak sejalan dengan etika akademik dan bisa merusak hubungan kampus dengan pihak luar. Polemik ini menyoroti batasan antara kebebasan berekspresi dan etika di lingkungan akademik.
Akibat pembekuan BEM FISIP Unair, banyak kegiatan yang biasanya difasilitasi BEM, seperti acara diskusi, seminar, dan kegiatan sosial lainnya, harus dihentikan sementara. Ini berdampak pada sejumlah kegiatan yang bertujuan meningkatkan kreativitas dan daya kritis mahasiswa.
Selain itu, pembekuan ini menimbulkan kekhawatiran bahwa kebebasan akademik dan ekspresi politik di lingkungan kampus mulai terbatas. Beberapa organisasi mahasiswa di kampus lain juga menyatakan solidaritas dengan BEM FISIP Unair, menyampaikan bahwa pembekuan ini bisa dianggap sebagai bentuk pembatasan terhadap kebebasan berekspresi.
Ahli pendidikan dan pengamat organisasi mahasiswa memberikan pandangan berbeda terhadap pembekuan BEM FISIP Unair. Beberapa ahli berpendapat bahwa kampus memang perlu memfasilitasi kebebasan berpendapat, namun tetap harus ada batasan etika. Mereka menegaskan bahwa kritik harus disampaikan dengan cara yang lebih positif dan sesuai norma akademik.
Beberapa ahli menyarankan agar Universitas Airlangga membuka ruang dialog terbuka antara pihak kampus dan BEM. Dialog ini diharapkan bisa menjadi cara untuk menyeimbangkan hak kebebasan berpendapat dengan etika di lingkungan akademik. Mereka juga menilai bahwa diskusi antara mahasiswa dan pihak kampus penting agar kedua belah pihak dapat mencapai kesepahaman.
Kasus pembekuan BEM FISIP Unair ini menjadi contoh penting tentang batasan dalam menyuarakan kritik di lingkungan akademik. Di satu sisi, mahasiswa memiliki hak untuk menyuarakan pendapat mereka, terutama terkait isu-isu publik. Namun, di sisi lain, kritik yang disampaikan secara berlebihan dan dengan bahasa yang tidak tepat dapat merusak etika organisasi.
Penting bagi kampus untuk menjadikan lingkungan akademik sebagai tempat berkembangnya pemikiran kritis, namun tetap menjaga batasan yang sesuai. Dengan mengadakan dialog terbuka, pihak kampus dan BEM dapat bekerja sama untuk menemukan cara yang lebih efektif dalam menyampaikan kritik, sambil tetap menjaga citra akademik yang positif.