Kasus Kepala Sekolah Menampar Siswa SMA Negeri 1 Cimarga
FaktaSehari – Isu kekerasan di sekolah kembali muncul ketika seorang kepala sekolah di SMA Negeri 1 Cimarga, Lebak, diberitakan menampar muridnya yang kedapatan merokok. Tindakan tersebut memancing protes dari orang tua siswa dan memicu aksi mogok sekolah. Di tengah tanggapan publik yang keras, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, turut angkat bicara. Ia menyayangkan bila kasus kekerasan mesti dibawa ke ranah hukum, tetapi juga mengingatkan bahwa penyelesaian harus memperhatikan nuansa pendidikan dan keadilan.
MoU antara Kemendiknas dan Polri: Penyelesaian Kekerasan secara Kekeluargaan
Mu’ti menjelaskan bahwa pemerintah telah menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan Polri. Dalam MoU itu, disepakati bahwa kasus kekerasan di sekolah selama tak masuk kategori kriminal akan diupayakan diselesaikan secara kekeluargaan. Menurut saya, pendekatan ini penting untuk menjaga martabat siswa dan guru, sekaligus mencegah konflik berkepanjangan. Namun, batasan “tidak kriminal” perlu ditegaskan agar penyalahgunaan tidak terjadi.
“Baca Juga : PMI Sumatera Utara Jadi Korban Penipuan di Kamboja”
Akar Masalah: Kepala Sekolah dalam Dinamika Politik Lokal
Mu’ti menyoroti bahwa kepala sekolah dipilih dan diberhentikan oleh pemerintah daerah bupati, wali kota, atau gubernur sehingga memiliki intensitas politik tinggi. Karena itu, konflik di sekolah tak selalu bersifat teknis tapi sering berkaitan kepentingan lokal. Dalam pandangan saya, tanpa reformasi tata kelola pendidikan di tingkat daerah, penyelesaian kasus kekerasan di sekolah akan selalu menghadapi hambatan struktural.
Kasus Cimarga: Dari Lapor ke Polisi hingga Perdamaian
Dalam kasus di Lebak, orang tua siswa awalnya berencana melapor ke polisi, mengingat tindakan tersebut dianggap melanggar hak anak. Sang ibu menyatakan tak ridha anaknya ditampar dan menuntut keadilan agar kasus semena-mena tak terulang. Namun belakangan, polemik itu berakhir damai setelah proses mediasi. Siswa dan kepala sekolah akhirnya saling memaafkan. Menurut saya, perdamaian itu baik tapi tak boleh menggantikan kebutuhan akan transparansi dan akuntabilitas.
“Simak Juga : Putusan MK: Jaksa Tertangkap Tangan Tak Perlu Izin Jaksa Agung”
Batasan Kekerasan dalam Pendidikan: Apa yang Dapat Diterima?
Dalam dunia pendidikan, disiplin memang dibutuhkan. Tetapi ketika kekerasan fisik muncul, ia melampaui batas pendidikan. Kepala sekolah adalah figur kebijakan dan teladan, bukan otoritas tak terbatas. Ketika tindakan fisik digunakan sebagai hukuman, risiko kekerasan sistemik terbuka lebar. Saya yakin, setiap kebijakan disiplin sekolah harus dibarengi pelatihan pengelolaan konflik, komunikasi, dan empati agar kekerasan fisik tak disalahkan sebagai solusi.
Langkah ke Depan: Pencegahan dan Budaya Sekolah Bebas Kekerasan
Agar insiden serupa tak terulang, langkah preventif mutlak diperlukan. Pemerintah bisa memperkuat regulasi, meningkatkan pengawasan, dan memperkuat peran guru bimbingan konseling. Sekolah juga perlu membangun budaya terbuka di mana siswa merasa aman melapor. Dari pengalaman saya mengikuti diskusi pendidikan, sekolah yang berhasil menerapkan nilai kekeluargaan dan keterbukaan cenderung lebih sedikit masalah kekerasan. Pendidikan bukan sekadar mendidik otak, tetapi juga membentuk karakter manusia yang beradab.