Pedagang Kecil Penjaringan Gantungkan Asa di Bawah Kolong Tol
FaktaSehari – Pembangunan jalan tol yang melintasi RW 13, Penjaringan, Jakarta Utara, telah mengubah secara drastis kondisi lingkungan dan kehidupan masyarakat di sekitarnya. Suara bising alat berat dan hilangnya bangunan lama membawa dampak langsung bagi para pedagang kecil yang selama ini menggantungkan hidup dari warung di pinggir jalan. Banyak dari mereka yang kehilangan pelanggan, akses terganggu, hingga akhirnya terpaksa menutup usaha. Meski pembangunan ini diharapkan membawa kemajuan, tetapi di mata pedagang kecil, hal ini justru menghadirkan ketidakpastian dan kecemasan yang besar.
Warung Es Dodo Jadi Korban Pembangunan
Dodo, seorang pedagang es berusia 62 tahun, harus merelakan warung kecilnya dibongkar karena masuk dalam area proyek tol. Selama bertahun-tahun, warung itu menjadi tumpuan ekonomi keluarganya. Kini, ia hanya bisa berharap bisa berdagang lagi suatu hari nanti, meski harus di bawah kolong tol sekalipun. Dengan kompensasi Rp 4,5 juta yang ia terima, Dodo berencana mencari tempat baru, walau belum tahu ke mana arah tujuan. Harapannya sederhana: tetap bisa berjualan dan hidup mandiri di tengah proyek yang memaksanya mundur.
“Baca Juga : Ojol Gelar Demo Aksi 179: Tuntut Perbaikan Sistem Bagi Hasil”
Yuni Bertahan di Tengah Ancaman Penggusuran
Berbeda dengan Dodo, Yuni (53), pemilik warung kelontong, masih bisa membuka usahanya. Lokasinya memang belum tersentuh proyek, tapi ancaman itu terasa nyata karena pembangunan sudah semakin dekat. Ia bersiap sewaktu-waktu harus pindah, bahkan sudah mulai menegosiasikan kompensasi. Yuni berharap bisa mendapatkan Rp 15 juta sebagai ganti rugi agar bisa memindahkan usahanya ke depan rumah dan tetap melayani pelanggan lama. Baginya, relokasi bukan pilihan mudah, tapi harus dilakukan demi kelangsungan hidup.
Ketiadaan Informasi Picu Kekhawatiran Warga
Salah satu keluhan utama dari para pedagang adalah minimnya informasi yang diberikan pihak terkait soal jadwal pembangunan, proses relokasi, dan bentuk kompensasi. Banyak warga merasa tidak dilibatkan atau bahkan tidak tahu ke mana harus mencari kejelasan. Hal ini membuat mereka merasa terpinggirkan dan tidak punya kontrol atas masa depan usahanya. Sosialisasi yang jelas dan terbuka sangat dibutuhkan agar masyarakat tidak hanya jadi korban, tapi bisa menjadi bagian dari proses pembangunan itu sendiri.
“Simak Juga : Komdigi Tindak Tegas 2,1 Juta Konten Judi Online di Ruang Digital Indonesia”
Relokasi di Bawah Kolong Tol Jadi Harapan
Banyak pedagang kecil berharap bisa kembali berjualan di bawah kolong tol setelah proyek rampung. Meski tempat itu mungkin sederhana, namun dianggap strategis dan realistis sebagai solusi. Asalkan tersedia fasilitas dasar seperti penerangan, air bersih, dan keamanan, mereka siap menata ulang usahanya di lokasi tersebut. Ide ini muncul dari kebutuhan akan tempat berdagang yang tetap bisa dijangkau pelanggan dan tidak jauh dari lingkungan asal. Pedagang tidak butuh mewah, hanya butuh kepastian dan ruang untuk mencari nafkah.
Pemerintah Diharap Hadir untuk Rakyat Kecil
Pemerintah diharapkan tidak hanya fokus pada penyelesaian proyek, tapi juga memberi perhatian pada nasib warga terdampak, terutama pedagang kecil. Relokasi yang manusiawi, kompensasi yang layak, dan pendampingan pasca-penggusuran adalah bentuk keadilan sosial yang ditunggu. Jika pembangunan tol bertujuan meningkatkan kesejahteraan, maka dampaknya harus dirasakan merata, termasuk oleh mereka yang kini tersisih. Para pedagang hanya ingin tetap hidup, bukan jadi korban pembangunan.


