Aroma Harapan di Tengah Malam: Cerita dari Dapur SPPG Lanud Suryadarma, Subang
FaktaSehari – Malam belum lama beranjak dari larut ketika aroma masakan mulai perlahan menguar dari dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Lanud Suryadarma di Subang. Di saat kebanyakan rumah sudah terlelap dalam diam, dapur ini justru mulai hidup.
Dentuman panci, bunyi air mengalir, dan percikan minyak panas jadi orkestra yang mengiringi langkah para petugas yang bersiap: mengenakan celemek, mencuci tangan, dan mulai memasak untuk ribuan anak-anak sekolah.
Namun, bukan hanya suara alat masak yang menemani mereka malam itu. Di antara tumpukan ompreng kosong, kadang terselip secarik kertas kecil bertuliskan tangan polos dari anak-anak—berisi ucapan terima kasih, doa, bahkan permintaan menu sederhana. Surat-surat itu menjadi pemantik semangat, pengingat bahwa apa yang mereka lakukan di dapur bukan sekadar tugas, tapi bagian dari harapan ribuan anak di Subang.
Dimulai dari Tengah Malam, Demi Anak-anak yang Tak Pernah Mereka Jumpai
Setiap malam sekitar pukul 23.00, aktivitas dapur dimulai. Bukan pekerjaan ringan—semuanya harus bersih, steril, dan sesuai prosedur. Petugas mulai dari mencuci ribuan food tray, menyiapkan bahan baku, hingga memotong sayur dan membersihkan daging atau ikan.
Aroma tumisan bawang, uap nasi yang mengepul, dan suara wajan beradu dengan spatula menjadi pemandangan sehari-hari yang tak pernah mereka keluhkan.
Meski mata berat dan tubuh lelah, semangat mereka tidak luntur. Karena mereka tahu, saat anak-anak menikmati makan siang esok harinya, itulah saat kerja keras mereka benar-benar terasa.
Surat dari Anak-anak: Penghapus Lelah yang Tak Terduga
Pernah suatu pagi, di antara tumpukan ompreng bekas, seorang petugas menemukan surat kecil bertuliskan, “Terima kasih makanannya, enak banget!”
Tulisan tangannya miring dan agak kaku, jelas dari tangan mungil seorang anak SD. Tapi maknanya lebih dari sekadar ungkapan terima kasih. Itu adalah validasi bahwa apa yang mereka lakukan berarti.
Ada juga surat yang lebih panjang, memohon agar besok lauknya ayam goreng, atau mendoakan “semoga ibu bapak dapurnya sehat terus.”
Tak sedikit dari petugas dapur yang menyimpan surat-surat ini, menempelkannya di dinding, atau sekadar menyelipkannya di saku celemek sebagai penyemangat pribadi.
Surat-surat kecil itu menjadi jembatan emosional antara mereka yang memasak dan mereka yang menerima. Meskipun tak pernah bertemu langsung, hubungan itu tumbuh, melalui nasi hangat dan lauk bergizi yang dikirim setiap pagi.
Di Balik Setiap Ompreng, Ada Rencana dan Proses yang Panjang
Produksi makanan bergizi ini bukan perkara sederhana. Setiap hari, 3.953 paket makan siang disiapkan dan dikirim ke 11 sekolah dan satu posyandu di wilayah Kalijati.
Proses memasaknya pun terbagi dalam dua sesi. Yang pertama dimulai pukul 03.00 pagi untuk anak-anak SD. Pengiriman dilakukan sekitar pukul 07.00.
Sesi kedua dimulai pukul 06.00 pagi untuk SMP dan SMA, dengan pengiriman sekitar pukul 10.00.
Setiap detik dihitung dengan cermat. Tak boleh ada keterlambatan, karena makanan harus sampai dalam kondisi hangat dan segar. Mereka tak menggunakan bahan pengawet. Ini artinya, antara waktu masak dan waktu makan tidak boleh terlalu jauh.
Semua Dimulai dari Seleksi Bahan Baku yang Ketat
Tak semua bahan bisa langsung digunakan. Petugas terlebih dahulu melakukan seleksi ketat. Bila ada bahan yang tidak layak atau tidak sesuai standar, langsung ditolak.
Bahan-bahan lalu disortir ke dalam dua gudang berbeda: gudang basah dan gudang kering. Ini dilakukan agar tidak ada risiko kontaminasi silang.
Setelah itu, bahan mulai diproses—dipotong, dicuci bersih, lalu disiapkan sesuai menu hari itu. Semuanya dilakukan dengan standar kebersihan tinggi: sarung tangan, masker, celemek bersih, dan sanitasi ketat.
“Simak Juga : Vape: Ancaman Baru di Tengah Penurunan Jumlah Perokok Dunia”
Makanan Bergizi yang Tidak Selalu Mudah Diterima Anak-anak
Saat program pertama kali berjalan pada awal tahun 2025, tantangan langsung muncul. Banyak anak-anak yang tidak menyukai menu tertentu, terutama ikan.
Bagi sebagian besar dari mereka, bau amis dan tekstur ikan membuat selera makan hilang. Tapi tim tidak kehabisan akal.
Mereka memodifikasi penyajian: mengubah bentuk ikan menjadi nugget, bola-bola ikan, atau fillet goreng renyah.
Sedikit demi sedikit, anak-anak mulai membuka diri. Dari yang awalnya enggan makan, kini justru meminta lauk ikan lagi.
Itu semua hasil dari pendekatan yang sabar, telaten, dan terus mengevaluasi. Tidak ada paksaan. Yang ada hanya semangat menyenangkan anak-anak, agar mereka bisa makan bergizi tanpa terpaksa.
Cinta yang Tak Terlihat, Tapi Terasa
Setiap petugas dapur tahu, mereka mungkin tidak akan pernah bertemu dengan anak-anak yang mereka siapkan makanannya. Tapi itu tidak mengurangi rasa sayang mereka.
Karena bagi mereka, setiap ompreng yang bersih, setiap makanan yang habis dimakan, adalah bentuk komunikasi.
Dan surat kecil yang ditulis anak-anak? Itu adalah balasan yang paling tulus dan jujur.
Surat itu menandakan: “Kami tahu kalian ada, kami tahu kalian peduli.”
Tak ada gaji yang bisa menggantikan rasa itu. Karena dalam pekerjaan yang melelahkan itu, mereka menemukan arti—bahwa memberi makan adalah memberi harapan.