Kebiasaan Sepele yang Mengubah Hidup Sulistia di Usia 14 Tahun

Kebiasaan Sepele yang Mengubah Hidup Sulistia di Usia 14 Tahun

FaktaSehariGagal Ginjal Sulistia, atau akrab disapa Sulis, adalah remaja 14 tahun yang menjalani hari-hari seperti kebanyakan anak seusianya. Ia bersekolah, bermain gawai, dan menikmati jajanan favorit tanpa rasa khawatir. Namun, di balik rutinitas sederhana itu, tubuhnya perlahan memberi sinyal bahaya. Kebiasaan mengonsumsi minuman manis berwarna dan makanan cepat saji menjadi bagian dari kesehariannya. Air putih jarang menjadi pilihan utama. Bagi Sulis, kebiasaan itu terasa sepele dan tidak berisiko. Hingga suatu hari, tubuhnya mulai bereaksi. Kisah Sulis kemudian viral setelah ia membagikannya di TikTok, ditonton jutaan orang dan menyentuh banyak hati. Ceritanya menjadi pengingat bahwa pola hidup sehari-hari, sekecil apa pun, bisa membawa dampak besar, bahkan mengubah arah hidup seseorang dalam sekejap.

Minuman Berwarna dan Fast Food sebagai Pemicu

Dokter menyebut kebiasaan Sulis mengonsumsi minuman manis berwarna sebagai penyebab utama kerusakan ginjalnya. Kandungan gula tinggi dan zat tambahan dalam minuman tersebut memberi beban berlebih pada ginjal yang masih berkembang. Ditambah lagi, makanan cepat saji yang kaya garam memperparah kondisi tubuhnya. Sulis mengakui bahwa ia lebih memilih minuman manis dibanding air putih, tanpa menyadari konsekuensinya. Padahal, ginjal membutuhkan cairan yang cukup untuk menyaring racun secara optimal. Ketika asupan air putih minim, ginjal bekerja lebih keras. Dalam jangka panjang, kebiasaan ini dapat menyebabkan kerusakan serius. Kisah Sulis membuktikan bahwa apa yang dikonsumsi setiap hari bukan sekadar soal rasa, tetapi juga investasi kesehatan jangka panjang, terutama bagi remaja yang masih dalam masa pertumbuhan.

“Baca Juga : Ketika Kolesterol dan Gula Darah Tinggi Menjadi Silent Killer di Usia Muda”

Gejala yang Datang Perlahan dan Terabaikan

Gejala gagal ginjal yang dialami Sulistia muncul secara bertahap. Tubuhnya mulai membengkak, ia sering merasa mual, muntah, dan mengalami sesak napas. Namun, gejala-gejala ini tidak langsung mengarah pada diagnosis yang tepat. Beberapa klinik sempat mengira Sulis mengalami asam lambung atau gangguan paru. Kesalahan diagnosis membuat kondisinya semakin memburuk. Hingga akhirnya, Sulis pingsan dan dilarikan ke instalasi gawat darurat. Di sanalah kenyataan pahit terungkap: ia didiagnosis gagal ginjal stadium 5. Kisah ini menggambarkan betapa pentingnya kewaspadaan terhadap sinyal tubuh, terutama jika keluhan muncul berulang. Gejala ringan yang diabaikan dapat berkembang menjadi kondisi serius jika tidak ditangani secara tepat dan cepat.

Perubahan Hidup yang Datang Mendadak

Sejak diagnosis tersebut, hidup Sulistia berubah drastis. Ia harus menjalani cuci darah rutin dua hingga tiga kali seminggu. Aktivitas sekolah dan sosialnya pun terbatas. Asupan cairan dibatasi hanya sekitar 600 mililiter per hari, termasuk kuah makanan. Ia juga harus menghindari buah-buahan tinggi kalium. Rasa haus menjadi tantangan terbesar. Untuk mengatasinya, Sulis memilih berdiam di kamar ber-AC atau mengunyah es batu. Rutinitas rumah sakit kini menjadi bagian dari hidupnya. Perubahan ini tidak hanya berdampak secara fisik, tetapi juga emosional. Di usia yang seharusnya penuh eksplorasi, Sulis harus belajar berdamai dengan keterbatasan. Namun, dari situ pula ia belajar tentang ketabahan dan makna menjaga kesehatan sejak dini.

“Simak Juga : Vaksin RSV Terbukti Aman: Data Global Tunjukkan Risiko GBS Sangat Rendah”

Kekuatan Dukungan Keluarga dan Mental Positif

Di tengah kondisi yang berat, dukungan keluarga menjadi sumber kekuatan utama bagi Sulistia. Ibunya selalu mendampingi, memastikan setiap proses pengobatan dijalani dengan penuh perhatian. Kehadiran keluarga memberi rasa aman dan semangat untuk terus bertahan. Sulis juga berusaha menjaga mentalnya dengan berpikir positif dan mencari kebahagiaan dari hal-hal sederhana. Ia percaya bahwa perasaan bahagia membantu tubuh dan pikiran tetap kuat. Dukungan emosional ini menjadi bagian penting dalam proses pengobatan jangka panjang. Kisah Sulis menunjukkan bahwa kesehatan bukan hanya soal fisik, tetapi juga tentang ketahanan mental dan lingkungan yang mendukung. Dalam situasi sulit, cinta keluarga dapat menjadi obat yang tak tertulis dalam resep dokter.

Pandangan Dokter tentang Gagal Ginjal pada Remaja

Menurut Dr. I Gusti Ngurah Adhiartha, Sp.PD-KEMD, FINASIM, kebiasaan mengonsumsi makanan cepat saji dan minuman manis menjadi faktor utama meningkatnya kasus gagal ginjal pada remaja. Gula berlebih dapat merusak fungsi ginjal secara perlahan, sementara garam tinggi meningkatkan risiko kerusakan lebih cepat. Ia menekankan pentingnya perubahan pola makan sejak dini, seperti mengurangi fast food, memperbanyak air putih, dan memilih makanan rumahan. Pemeriksaan kesehatan rutin juga dianjurkan, terutama bagi remaja dengan kebiasaan makan dan minum yang kurang sehat. Kisah Sulistia menjadi contoh nyata bahwa pencegahan jauh lebih mudah daripada pengobatan. Edukasi sejak dini menjadi kunci untuk melindungi generasi muda dari risiko penyakit kronis yang seharusnya bisa dihindari.