Fakta Sehari – Alergi makanan adalah reaksi sistem imun terhadap zat tertentu yang dianggap berbahaya meski sebenarnya tidak. Tubuh merespons zat ini secara berlebihan dan menghasilkan berbagai gejala. Gejala dapat berkisar dari ringan seperti ruam kulit hingga berat seperti anafilaksis. Banyak faktor yang mempengaruhi seseorang bisa mengalami alergi makanan. Selain faktor genetik, lingkungan dan pola makan juga punya peranan besar. Kasus ini semakin meningkat dalam beberapa dekade terakhir. Oleh sebab itu, penting untuk memahami apa saja pemicunya. Dengan pemahaman yang baik, risiko alergi bisa diminimalkan. Dokter biasanya akan melakukan serangkaian tes untuk memastikan diagnosis alergi. Jika teridentifikasi, penderita disarankan untuk menghindari makanan pemicu.
Sistem imun bertugas melindungi tubuh dari serangan kuman dan zat berbahaya. Namun, pada penderita, sistem imun salah mengenali zat tertentu sebagai ancaman. Akibatnya, tubuh memproduksi antibodi jenis IgE untuk melawan zat tersebut. Ketika makanan itu dikonsumsi kembali, antibodi ini memicu pelepasan histamin. Histamin inilah yang menimbulkan berbagai gejala alergi di tubuh. Proses ini bisa berlangsung dalam hitungan menit setelah makanan masuk.
“Baca Juga : BTN Ungkap Strategi Dorong Kenaikan Laba Kuartal Pertama 2025”
Faktor genetik menjadi salah satu penyebab utama seseorang mengalami alergi makanan. Anak yang lahir dari orang tua penderita alergi memiliki risiko lebih tinggi. Bahkan, risiko ini meningkat dua kali lipat jika kedua orang tua menderita alergi. Selain itu, adanya riwayat penyakit atopik seperti eksim atau asma juga memperbesar peluang. Oleh karena itu, perhatian khusus perlu diberikan pada anak-anak dari keluarga dengan riwayat alergi.
Tidak semua makanan berpotensi menyebabkan alergi. Beberapa makanan memang lebih sering menjadi pemicu dibanding yang lain. Contohnya, susu sapi, telur, kacang tanah, kedelai, gandum, dan ikan laut. Selain itu, makanan seperti kerang-kerangan juga sangat sering menyebabkan reaksi alergi berat. Meski demikian, seseorang bisa saja mengalami alergi terhadap makanan lain yang jarang dilaporkan. Itulah sebabnya pengujian medis sangat penting untuk mengetahui alergi spesifik.
“Simak juga: Rilis Nubia V70 dan V70 Design di Indonesia: Spesifikasi dan Harga”
Banyak orang masih keliru membedakan antara alergi makanan dan intoleransi makanan. Alergi melibatkan sistem imun dan dapat mengancam nyawa dalam kasus berat. Sedangkan intoleransi lebih berkaitan dengan masalah pencernaan, bukan sistem imun. Misalnya, intoleransi laktosa membuat seseorang kesulitan mencerna susu, tetapi tidak menyebabkan reaksi imun. Oleh karena itu, diagnosis yang tepat sangat diperlukan sebelum mengambil tindakan pencegahan.
Faktor lingkungan juga berperan dalam munculnya alergi makanan. Pola hidup modern yang bersih disebut mengurangi paparan kuman di usia dini. Akibatnya, sistem imun menjadi terlalu sensitif terhadap zat tidak berbahaya seperti makanan. Selain itu, perubahan pola makan global juga memperkenalkan makanan baru yang belum dikenal tubuh. Ini bisa memperbesar risiko tubuh menganggap makanan tersebut sebagai ancaman.
Cara makanan diproses juga bisa memengaruhi potensi alergi. Misalnya, proses pemanasan tertentu bisa mengubah struktur protein pada makanan. Pada beberapa kasus, protein yang rusak malah meningkatkan sifat alergeniknya. Sebaliknya, metode memasak tertentu dapat mengurangi kadar alergen dalam makanan. Karena itu, penting memahami bagaimana pengolahan memengaruhi risiko alergi sebelum mengonsumsi makanan.
Kapan makanan baru diperkenalkan pada anak juga berpengaruh terhadap risiko alergi. Studi menunjukkan bahwa memperkenalkan makanan alergenik terlalu terlambat justru meningkatkan risiko. Sebaliknya, pemberian dalam rentang usia enam bulan hingga satu tahun dapat menurunkan risiko alergi. Namun, setiap anak berbeda sehingga konsultasi dengan dokter tetap diperlukan. Selain itu, pemberian makanan harus dilakukan secara bertahap dan dalam porsi kecil.
Mengelola alergi makanan membutuhkan kombinasi antara pencegahan dan kesiapan menghadapi reaksi. Penderita harus membaca label makanan dengan teliti untuk menghindari bahan pemicu. Selain itu, mereka perlu membawa epinefrin autoinjector jika berisiko mengalami anafilaksis. Edukasi keluarga, teman, dan lingkungan sekitar juga sangat penting. Dengan langkah-langkah ini, penderita bisa menjalani kehidupan yang lebih aman dan nyaman.
Dalam beberapa kasus, terapi imunologi bisa membantu mengurangi sensitivitas terhadap alergen. Terapi ini dilakukan dengan memberikan dosis kecil alergen secara bertahap. Tujuannya adalah untuk melatih sistem imun agar tidak bereaksi berlebihan. Namun, terapi ini harus dilakukan di bawah pengawasan ketat dokter spesialis alergi. Meskipun tidak semua penderita cocok, terapi ini menawarkan harapan bagi banyak orang.