Fakta Sehari – Krisis tenaga kesehatan di Indonesia kini semakin terasa di berbagai bidang, tak terkecuali dalam pelayanan kedokteran gigi. Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) menyuarakan keresahan yang selama ini terpendam. Banyak wilayah di Indonesia kekurangan dokter gigi, terutama daerah-daerah terpencil dan luar Jawa. Hal ini menciptakan kesenjangan pelayanan antara kota besar dan daerah perbatasan. Masyarakat di wilayah pelosok harus menempuh jarak jauh hanya untuk mencabut gigi atau memeriksa karies. Ini bukan sekadar soal distribusi dokter gigi yang tidak merata. Tapi juga terkait regulasi dan kebijakan yang dinilai tidak berpihak pada pelayanan kesehatan gigi yang menyeluruh.
Data dari PDGI menunjukkan bahwa Indonesia saat ini memiliki sekitar 40 ribu dokter gigi. Namun distribusinya sangat timpang. Lebih dari 60 persen praktik dokter gigi terkonsentrasi di Pulau Jawa dan kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung. Sementara itu, banyak kabupaten di Kalimantan, Maluku, dan Papua yang hanya memiliki satu atau dua dokter gigi. Bahkan beberapa wilayah sama sekali tidak memiliki dokter gigi. Ini berdampak langsung pada kualitas hidup masyarakat. Penyakit gigi yang seharusnya bisa dicegah sejak dini, justru berkembang menjadi kronis karena minimnya akses.
“Baca Juga : iPhone XR Second Mulai Rp 4 Jutaan, Ini Spesifikasinya”
PDGI selama ini aktif menyuarakan pentingnya pemerataan tenaga dokter gigi. Salah satu langkah yang diusulkan adalah sistem insentif yang lebih kuat bagi dokter yang bersedia ditempatkan di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). PDGI juga meminta pemerintah meninjau ulang kebijakan rekrutmen CPNS yang sering kali tidak membuka formasi dokter gigi di daerah. Dalam beberapa tahun terakhir, PDGI melakukan program bakti sosial ke berbagai daerah. Namun upaya ini tidak bisa menjadi solusi jangka panjang. Diperlukan kebijakan struktural dan dukungan anggaran yang signifikan agar distribusi dokter gigi lebih adil.
Salah satu penyebab dokter gigi enggan ditempatkan di daerah terpencil adalah kurangnya fasilitas penunjang. Banyak puskesmas tidak memiliki kursi gigi standar, alat sterilisasi, atau bahkan ruang praktik yang layak. Kondisi ini membuat dokter gigi kesulitan memberikan pelayanan maksimal. Pemerintah daerah pun sering kali tidak memiliki anggaran untuk perawatan atau pengadaan alat baru. Hal ini menciptakan lingkaran setan. Tanpa fasilitas memadai, dokter gigi enggan bertugas. Dan tanpa dokter gigi, pelayanan kesehatan gigi tetap stagnan.
“Simak juga: Nabiel Abiyasha: Dari Awal Tak Terencana Hingga Jadi Wajah Liputan6”
Dokter gigi yang bertugas di daerah terpencil sering kali harus menangani pasien dalam jumlah sangat besar. Dalam sehari, mereka bisa melayani puluhan pasien dengan berbagai kasus. Mulai dari pencabutan gigi darurat hingga infeksi gusi akut. Beban kerja ini tidak diimbangi dengan dukungan tenaga asisten atau petugas administrasi. Banyak dokter gigi harus melakukan semuanya sendiri. Ini tentu melelahkan secara fisik dan mental. Tidak sedikit dari mereka akhirnya memilih mutasi atau kembali ke kota karena tekanan yang terlalu berat.
Selain distribusi dokter yang timpang, masalah lain yang muncul adalah akses pendidikan dokter gigi yang masih terbatas. Saat ini hanya ada sekitar 30 fakultas kedokteran gigi di seluruh Indonesia. Sebagian besar berada di kota besar dan Pulau Jawa. Akibatnya, calon mahasiswa dari wilayah timur Indonesia harus merantau jauh untuk mengejar pendidikan kedokteran gigi. Biaya yang tinggi menjadi penghalang utama. PDGI berharap pemerintah memperluas akses pendidikan ini agar muncul dokter-dokter gigi lokal yang bersedia kembali melayani daerah asal mereka.
PDGI secara tegas meminta pemerintah pusat untuk mengambil langkah konkret. Salah satunya adalah dengan menetapkan dokter gigi sebagai profesi strategis yang dibutuhkan secara nasional. Pemerintah juga didesak untuk membuat peta jalan pemerataan dokter gigi lima tahun ke depan. Termasuk alokasi dana khusus dalam APBN untuk mendukung pelatihan, insentif, dan peralatan di puskesmas. Tanpa intervensi langsung dari pusat, kesenjangan ini diperkirakan akan semakin parah. Masalah kesehatan gigi bukan hanya urusan estetika, tapi juga berdampak pada produktivitas dan kualitas hidup masyarakat.